Jogja Berhenti Nyaman

  • 0
Perayaan Tahun Baru 2014 akan menjadi momentum kelunjakan jumlah kaki dan roda yang menginjak tanah Jogja.

Macet, sampah visual, pengamen, dan berbagai macam faktor yang semakin mengurangi keindahan suatu kota mulai hadir di Jogja. Kota ini tidak lagi seindah cerita zaman dahulu yang mengungkapkan berjuta alasan mengapa kita harus ke Jogja.

Katanya, Jogja begini karena pendatang, padahal, maaf, kaum pribumi juga ikut menikmati rejeki dari para turis dan mahasiswa yang menginjakkan kakinya di Jogja.

Perkembangan suatu kota bukan hal yang bisa dielakkan. Mall dan perhotelan yang kian menjamur, saya apresiasi sebagai simbol perkembangan yang sedang terjadi disini. Apa yang bisa pemerintah dapatkan dari pemodal besar ini selain pajak, retribusi dan macet? Mengapa para pemodal besar tidak digunakan untuk melakukan kerjasama mutualisme demi pembangunan sebuah kota? Pemodal besar yang menikmati hasilnya, dan pemerintah serta masyarakat yang menanggung akibatnya.

Berbagai wacana digulirkan, sampai ada wacana yang menyatakan, penggunaan mobil di Jogja harus dikurangi. Saya bukan pengguna mobil di Jogja, tapi saya melihat usaha ini tidak akan memberi dampak signifikan. Ada banyak alasan mengapa orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi.

Pertumbuhan jumlah mobil di masa kini juga tidak bisa dihindari. Pembatasan hanya akan menghasilkan pepesan kosong jika tidak ada faktor pendukung. Yang kita butuhkan adalah solusi!

Saya membayangkan, bagaimana jika jalan layang ramai melintang di langit Jogja, dan transportasi bawah tanah menyelimuti kota yang sempit ini. Apakah itu akan mengurangi keistimewaan Jogja? Saya rasa tidak. Masih ada harapan bagi Jogja untuk menjadi kota yang maju dan beradab, dan itu hanya mungkin terjadi jika solusi sudah diterapkan dari sekarang.

Kebiasaan orang Indonesia, baru akan menyelesaikan suatu masalah di saat permasalahan sudah mencapai puncak. Sepertinya istilah “sedia payung sebelum hujan” hanya sekedar bahasa keren yang diajarkan di sekolah-sekolah dasar, tanpa penghayatan.

Bidang keilmuan saya memang membatasi pemikiran saya dalam permasalahan tata kota. Saya tidak mengerti, apa yang membuat Jakarta tidak menerapkan transportasi bawah tanah, apa karena kondisi permukaan tanahnya yang sudah dibawah permukaan laut? Lalu mengapa wacana ini juga tidak sampai ke Jogja, apa karena Jogja sebagai daerah rawan bencana?

Perubahan butuh perbandingan. Saya belum pernah ke Jepang, tapi yang saya mengerti, Jepang merupakan negara yang paling rawan dengan bencana. Hanya saja, mereka lebih panjang dalam membuat keputusan. Jika pemikiran mereka hanya sampai pada, “untuk apa kami membangun gedung yang tinggi, jalan layang, dan transportasi bawah tanah jika nantinya hancur oleh gempa dan gunung meletus?”, tapi ternyata tidak sedangkal itu cara mereka berpikir. Selalu, yang mereka cari adalah solusi, sehingga banyak bangunan-bangunan kokoh dan infrastruktur yang tahan terhadap gempa.

Ataukah modal yang menjadi permasalahan? Lalu kemana para pemodal besar ketika keadaan kota sudah bersifat kritis? Ini tidak murni kesalahan pemerintah, walaupun posisi pemerintah adalah gerbang bagi timbulnya permsalahan ini. Kesadaran masyarakat juga diperlukan untuk memulihkan kota yang mulai sakit. Perlu ada keseimbangan antara pemodal besar dan pemerintah, sehingga kerjasama yang dihasilkan bisa saling menguntungkan.

Dan saya ucapkan, Selamat Menikmati Tahun Baru 2014 di Kota yang (mulai) Berhenti Nyaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan timbal balik anda kepada kami untuk tetap menjaga kemajuan blog ini