Takbir, Dibalik Segalanya

  • 0

“Allahu Akbar!”. Ini adalah pertama kalinya aku mendengarkan sekaligus meneriakkan kalimat ini di kampus. Selasar FEB UGM bergema dengan suara takbir yang diucapkan oleh panitia JMME Fair 2012. Mungkin ini adalah hal yang remeh karena takbir pun sering kita kumandangkan dalam adzan, sering kita lafalkan dalam shalat, sering kita sebut dalam dzikir. Tapi ada sesuatu yang berbeda ketika takbir ini dilafalkan berjama’ah dengan sebuah suara yang lantang.

Tentu kita masih ingat suasana perang Badar ketika pada saat itu jumlah ummat Muslim yang sedikit melawan jumlah kafir Quraisy yang sangat banyak. Sebuah kemustahilan ketika pada saat itu kaum Muslimin justru keluar dari medan pertempuran sebagai pemenang. Ditinjau dari akal sehat ini memang tidak logis. Sejatinya ketika ada sebuah kelompok besar yang bertempur melawan kelompok kecil maka bisa dipastikan kelompok besar itu akan menang. Tapi tidak demikian pada perang Badar dan perang-perang umat Islam lainnya.

Sedikitnya jumlah pasukan tidak akan membuat umat Muslim gentar dalam pertempuran selama mereka masih memegang Allah sebagai pelindungnya. Dengan cara apa umat Islam pada saat itu menghadirkan Allah dalam perjuangannya? Sebuah kalimat yang kecil namun dinilai besar di sisi Allah. Sebuah lafal yang mengundang kekuatan. Sebuah kalimat yang menghadirkan ketenangan, menghasilkan semangat, menghilangkan ketakutan, membentuk kesolidan. Suara yang bergema secara bersamaan ini juga mampu membuat musuh Allah bergetar ketakutan ketika mendengarnya. Sesuatu yang diucapkan dengan tegas, “Allahu Akbar!”.

Takbir ini yang membuat umat Islam memenangkan pertempuran walau dengan jumlah yang kecil. Karena pada masa itu umat Islam hanyalah minoritas dibanding penduduk lain di seluruh dunia. Namun kerajaan Romawi dan Persia harus mengakui bahwa dalam peperangan umat Islam mampu mengungguli mereka. Padahal yang ingin dibawa oleh Islam hanyalah sebuah kebaikan. Yang pertama kali ditawarkan oleh umat Islam bukanlah peperangan, tapi sebuah perjanjian damai dengan syarat yang sama menguntungkan. Hingga pada akhirnya umat Islam terpecah dalam takbir mereka masing-masing dan dengan mudahnya pasukan Islam dihancurkan.

Sejarah kekhalifahan Turki Utsmani cukup untuk menjadi pelajaran bagi kita. Kehancuran pada masa itu bukanlah tanpa sebab yang jelas dari dalam tubuh umat Islam sendiri. Inilah yang terjadi ketika nafsu keduniawian yang mendominasi mereka. Pengunggulan antar kelompok satu dengan yang lainnya juga merupakan faktor vital bagi kehancuran khilafah Turki Utsmani pada masa itu. Mereka bertakbir untuk diri masing-masing dan untuk kelompok mereka sendiri. Kondisi yang masih berlanjut sampai saat ini.

Sudah cukup jelas gambaran sejarah tentang kejayaan yang berujung pada kehancuran. Kejayaan ini tidak akan pernah kembali jika umat Islam hanya bergerak bagi dirinya sendiri. Dan jika kelompoknya hanya menjalankan agenda untuk mereka saja. Takbir ini diperlukan untuk mempersatukan umat Islam yang masih tercerai-berai. Takbir ini dibutuhkan untuk menghilangkan individualitas antar kelompok. Takbir ini diwajibkan bagi kita yang menginginkan kejayaan. Sebuah kemenangan yang dijanjikan. Sesuatu yang tak akan terlaksana tanpa adanya persatuan.

Bukan saatnya lagi untuk menanyakan esensi takbir ini sendiri. Kita butuh kemajuan dalam cara berpikir. Bukan hanya retorika yang membuat pemikiran berputar-putar didalamnya. Perlu jalan untuk memandu pemikiran ini. Tidak ada gunanya mempermasalahkan perbedaan karena sesuatu yang berbeda itu niscaya. Bukankah pada masa Rasulullah SAW para sahabat sering berbeda pendapat? Kita bukanlah makhluk yang lebih mulia dari seorang sahabat. Mengapa kita mempermasalahkan apa yang tidak dipermasalahkan? Saat itu para sahabat sudah berbicara jauh mengenai perkembangan Islam namun kita masih berbicara seputar arti Islam itu sendiri. Arti Islam bagi kelompoknya. Bukan Islam pada kesempurnaan dan ke-universal-annya. Padahal jarak kita sudah lebih dari 1400 tahun. Mulailah kembali berpikir untuk mendapatkan sebuah kemajuan. Untuk bisa melantangkan takbir ini secara berjama’ah. Allahu Akbar!

Sebuah Diskusi, Sebuah Kebodohan

  • 19

Ini pertama kalinya gw bincang-bincang ama orang Arab. Orang Mesir tepatnya. Dia mahasiswa yang lagi belajar di UGM, Fakultas Ilmu Budaya. Peluang ini ada pas rangkaian hari ketiga JMME Fair 2012. Agenda awal acara itu nonton bareng yang awalnya mau nonton film berjudul “Le Grand Voyage”. Film dari Prancis yang katanya nyeritain tentang seseorang yang pengen pergi haji.

Sebenernya ini agenda yang kurang jelas juga sih, tadinya pengen nonton “Negeri 5 Menara” tapi karena ini film agak baru dan belom ada yang jual CD Original-nya (setdah... gaya), bajakanpun udah diuber-uber tapi juga ga ketemu, ampe nyari download-an kemana-mana juga ga dapet, akhirnya panitia sepakat ini film diganti. Tapi ternyata panitia galau juga nyari film yang bagus, sempet gw usulin buat nonton “Alangkah Lucunya Negeri Ini” (karena ini yang bagus yang gw punya, masa mau gw kasih “Sang Murabbi” wkakakak) tapi ternyata mereka minta film yang jarang-jarang (namanya film pasti ada yg udah pernah nonton -__-“).

Yaudah akhirnya ada yang usul buat nonton “Le Grand Voyage”, nama yang asing tapi gapapa lah. Dan ternyata setelah dapet film-nya malah si “Koor. Acara” (gamau nyebut nama :p) juga kurang setuju. Tapi setelah dipikir-pikir ternyata setuju juga. Bencana atau berkah ternyata muncul di tengah jalan. Bang Thoriq, mahasiswa Mesir ini ternyata dateng. Sebelumnya dia pernah diundang buat jadi pembicara di acara sebelumnya tapi ternyata ga dateng. Nah beliau baru dateng sekarang. Disambut ama ketua panitia dan setelah dijelasin kalo acara sekarang ini nonton bareng, beliau juga pengen ikut dan ternyata beliau juga nyumbang film.

Mau tau film apa? Jreng jreng jreng... Gw kira ini film asing, tapi ternyata ini emang asing, lebih tepatnya udah asing di memori. Ini film udah pernah gw tonton dulu, dulu banget ampe sekarang gw lupa. Judul filmnya “The Message” ato kalo versi arabnya mah “Ar Risalah”. Dan karena ini film versi bahasa Inggris, film pun ga ada subtitle.

Awalnya ketua panitia nanya ada yang bisa bahasa Arab ga, soalnya Bang Thoriq ini ga terlalu fasih bahasa Inggris sama bahasa Indonesia. Waw, ampe film diputer gw belom unjuk gigi. Malu gan, secara bahasa Arab udah ga pernah di muraja’ah lagi. Yaudah akhirnya gw pindah duduk ke belakang beliau terus perkenalan singkat pake bahasa Arab. Abis itu dia nanya “kamu bisa bahasa Arab”, dan gw jawab “sedikit” (pake bahasa Arab tentunya). Dan beliau minta gw buat duduk disampingnya, jujur agak gugup juga. Udah lama ga pernah ngomong pake bahasa Arab lagi.

Selama film diputer beliau ngajak ngomong pake bahasa Arab yang kadang gw cuma manggut-manggut doank, maklum pas gw di pondok pun biasanya ngobrol ama ustadz ga kaya gini amat. Ustadznya pake bahasa Arab dan gw pake bahasa Indo, ya nyambung sih, soalnya gw agak kagok nerjemahin Indo ke Arab jadi mending pake Indo aja. Tapi kalo ini mah full Arab dan gw ajak ngomong pake bahasa Inggris dikit malah jadi konslet. Ga ada cara lain selain pake bahasa Arab.

Dari jam 4 ampe jam setengah 6 gw duduk disamping dia, how terrible. Kebayang gak sih kalo ngobrol ama orang asing dan kita ga terlalu fasih ama bahasanya. Mau ngobrol juga ga enak, diem juga ga enak. Tekanan mental banget gan, apalagi gw ini lulusan pondok, apa yang udah gw dapet selama 6 tahun?

Karena film ini lama banget, panitia ngasi waktu ampe jam 5.10 tapi ternyata bang Thoriq ini pengen ampe kita nonton pas masa hijrah ke Madinah dulu. Alhasil, jam setengah 6 baru film bisa di stop dan durasi masih panjang banget. Abis itu panitia minta bang Thoriq buat ngejelasin tentang film tersebut dan bang Thoriq mau asalkan gw juga ikut bantu ngejelasin, jadi penerjemah gitu. Kami sama-sama maju ke depan. Dan abis itu kita semua poto bareng. Ternyata bang Thoriq ini minta buat poto bareng gw berdua. Ini pertama kalinya gw diminta orang asing buat poto bareng, biasanya gw yang minta. Agak norak emang kedengerannya.

Dan sebenernya gw ngerasa seneng sekaligus nyesel. Seneng karena ada yang masih bisa gw manfaatin sebagai lulusan pondok. Nyesel karena ternyata apa yg gw pelajarin selama ini belom maksimal. Dan kalo ada kalian santri pondok yang baca ini, khususnya adek-adek kelas gw di Husnul Khotimah, jangan pernah sia-siain waktu kalian belajar disana. Barakallah.

Quotes for #JMMEfair

Pembicaraan ini bukan hanya masalah sejarah, tapi juga pemahaman kita tentang kesempurnaan Islam. Ada banyak yang bisa kita pelajari dari sejarah dan kemudian kita olah menjadi pelajaran untuk melangkah. Apa yang terjadi di masa kini hanyalah pengulangan dari masa lalu, dan hampir semua masalah di masa kini telah terselesaikan di masa lalu. Hanya saja kita yang lemah, tidak mengetahui hakikat masa lalu dan tidak bisa mengambil pelajaran dari sana. Jadilah kita seorang yang tersesat di sesaknya rambu kehidupan. Pemahaman ini tidak bisa muncul secara instant, butuh tahap. Selamat menikmati tahap di #JMMEfair .